Selasa, 09 November 2010

ADAB JENAZAH DAN TA'ZIAH YANG SESUAI SUNNAH

·         Ingatlah mati, di dalam Al-Qur’an terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang mati, yaitu firman Allah SWT:

اَللهُ يَتـَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَـوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِـهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا اْلمَـوْتَ وَيـُرْسِلُ اْلأُخْـرَى إِلَى أَجَـلٍ مُسَمَّى إِنَّ فِي ذلِكَ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْن
      “Allah memegang jiwa (orang) ketika matiَnya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya; maka dia tahanlah jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”.[1]

قُلْ يَتَوَفّكُمْ مَلَكُ اْلمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْن
      “Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawaَ) mu akan mematikan kamu kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.[2]


حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ اْلمَوْتُ تَوَفـَّتْهُ رُسُلُنَا وَهـُمْ لاَ يُفـَرِّطـُوْن
      “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kamiَ, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”.[3]
 Pada ayat di atas Allah Ta’ala menjelaskan bahwa yang mematikan adalah Allah SWT pada suatu saat, dan pada saat lain adalah para malaikat dan para utusan (berupa malaikat juga). Maka para ulama mengkompromikan tiga ayat di atas dengan mengatakan bahwa Allah SWT memerintahkan, dan para malaikatlah yang merealisasikan perintah tersebut secara langsung, lalu diserahkan kepada para malaikat lain yang membawanya menuju langit, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang panjang. Malaikat tersebut memberikan kabar tentang orang yang paling dicintai Nya dan orang-orang yang paling dibenci Nya.
·         Ibnul Arabi mengatakan: Dari berbagai hadits dapat disimpulkan bahwa mengumumkan orang yang telah mati terbagi dalam tiga kategori:
Pertama: Memberitahukan keluarga, teman dan orang-orang yang shaleh, perbuatan ini sunnah.
Kedua: Mengundang orang berpesta untuk berbangga-bangga, perbuatan ini makruh.
Ketiga: Mengumumkan kematian dengan meratapi orang yang telah meninggal, perbuatan ini diharamkan.[4]
·         Segera dalam menyelenggarkan janazah dan pemakamannya untuk meringankan beban keluarga dan sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

أَسْـرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ  فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فًخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَإِنْ تَكُ سِوَى ذلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
      “Segerakanlah jenazah tersebut, sebab jika dia shaleh maka kalian telah mensegerakannya kepada kebaikan, namun jika selain itu, maka kalian telah melepaskan beban keburukan dari diri kalian”.[5]
·         Disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah bahwa termasuk petunjuk Nabi Muhammad SAW tidak menguburkan mayit saat terbit dan terbenamnya matahari, dan tidak pula saat matahari berada di tengah langit, beliau menegaskan bahwa menguburkan mayit pada waktu malam tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan darurat atau demi kemaslahatan yang lebih kuat, hal ini didasarkan pada kesimpulan para ulama setelah mengumpulkan beberapa hadits.[6]
·         Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa diantara tuntunan Rasulullah SAW dalam mengikuti jenazah adalah:
a.    Jika seseorang berjalan, maka hendaklah berada di depan jenazah.
b.   Jika berkendaraan, maka hendaklah berada di belakang jenazah.
c.    Mempercepat jalan dan tidak diperkenankan berjalan dengan pelan.
d.   Tidak mendahului duduk sampai jenazah tersebut diletakkan di atas tanah. [7]
·         Dibolehkan mendahulukan shalat jenazah jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat fardhu.[8]
·         Di antara petunjuk Nabi muhammad SAW tentang sifat kubur adalah membuat liang lahad dan memperdalamnya serta memperluas kuburan dari sisi kepala dan kedua kaki mayit.[9]
·         Tidak menangisi mayit dengan suara yang tinggi, meratapinya, menyesali kematiannya, meratapi jasa-jasanya dan merobek-robek kantong baju, berdasarkan sabda Nabi SAW:  

  لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَـمَ اْلخُـدُوْدَ وَشَـقَّ الْجُـيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
      “Bukan dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek kantong dan menyeru dengan seruan-seruan jahilyah”.[10]
·         Kesabaran yang bisa mendatangkan pahala (saat ditimpa musibah) adalah kesabaran pada saat pertama kali musibah menimpa, berdasarkan hadits Nabi SAW:

 إِنََّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى  
      “Hanya sanya kesabaran tersebut saat pukulan pertama (saat musibah menimpa)”.[11]
·         Menangis di sisi kuburan adalah sikap yang tidak mencerminkan kesabaran, berdasarkan hadits yang menceritakan tentang seorang wanita yang manangis pada sebuah kuburan lalu Rasulullah SAW menegurnya: “Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah”.[12]
·         Dianjurkan mengantarkan janazah sampai jenazah tersebut dikuburkan, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

مَنْ شَهِدَ اْلجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلىَّ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهاَ حَتَّى تُدْفَنَ فَلََهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا اْلقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ مِثْلُ اْلجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَينِ
      “Barangsiapa yang menghadiri penyelenggaraan jenazah sampai dishalatkan maka dia akan mendapatkan pahala sebesar satu qiroth, dan barangsiapa yang menghadirinya sampai dimakamkan maka dia mendapat dua qiroth, beliau ditanya: Berapakah dua qiroth tersebut? Rasulullah SAW menjawab: Seperti dua buah gunung yang besar”.[13]
·         Memuji mayit dengan menyebut-nyebut perbuatan dan sifat baiknya dan tidak menyebut keburukannya, berdasarkan sabda Nabi:
لاَ تَسُـبُّوْا اْلأَمْوَاتَ فَإِنَّـهُمْ قَـدْ أَُفْضُوْا إِلَى مَا قَـدَّمُوْا
      “Janganlah engkau mencaci orang yang telah meninggal sebab mereka telah digiring kepada apa yang telah mereka perbuat”.[14]
·         Memintakan ampun bagi orang yang telah meninggal setelah dikuburkan. Dari Ibnu Umar RA menceritakan bahwa apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan janazah, maka beliau berdiri di atas kuburnya kemudian bersabda:

 اِسْـتَغْفِـرُوْا ِلأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التّثْـبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ                
      “Mintakanlah ampun bagi saudaramu dan berdo’alah baginya agar diteguhkan sebab dia sekarang sedang ditanya”.[15]
·         Takziah tidak memiliki hari dan waktu yang khusus, namun disyari’atkan dari sejak kematian seseorang, baik sebelum shalat atau sesudahnya, sebalum dikuburkan atau setelahnya, dan mensegerakannya lebih baik, pada saat musibah tersebut terasa berat. Dan dibolehkan juga setelah tiga hari dari kematian si mayit karena tidak ada dalil yang membatasinya dengan waktu tertentu.
·         Dianjurkan meringankan beban keluarga orang yang telah meninggal dan membuatkan makanan bagi mereka, berdasarkan sabda Nabi :

اِصـْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَـرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَـدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُـمْ
      “Buatlah makanan bagi kelurga Ja’far sebab telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.[16]
·         Dianjurkan menghibur orang yang tertimpa musibah dan menasehati mereka agar tetap bersabar, seperti mengucapkan perkataan:

إِنَّ ِللهِ مِا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَئْ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
      “Sesungguhnya hanya bagi Allahlah apa yang diambil -Nya dan bagi -Nya pula apa-apa yang diberikan, dan segala sesuatu di sisi -Nya pada batas yang telah ditentukan maka bersabarlah dan berharaplah pahala dari -Nya”.[17]
Dan kalimat ini adalah kalimat yang paling baik untuk bertakziah, dan lebih baik dari kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang:

 أَعْظَمَ اللهُ أًَجْـرَكَ وَأَحْسَـنَ عَزَاءَكَ وَغَـفَرَ لِمَيِّـتِكَ
      “Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepadamu dan menghiburmu dengan kebaikan bagimu serta mengampuni dosa-dosa mayitmu”. Kalimat ini adalah pilihan para ulama dan apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW lebih baik dan utama.[18]
      Dan sebagian ulama pernah menghibur seorang bapak karena anaknya yang kecil telah meninggal dunia dan berkata kepadanya: “Sebagian dirimu telah masuk surga maka berusahalah agar sisa yang lain dari dirimu tidak tertinggal (masuk surga).”[19]
      Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa tidak ada kata-kata takziah yang mereka dengar  lebih mengena dan singkat dari kata-kata takziah yang diucapkan oleh Syubaib bin Syaibah kepada Al-Mahdi pada saat kematian anaknya (Yaqutah), dia berkata: Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang didapatkan (oleh anakmu) di sisi Allah lebih baik baginya dari dirimu, dan pahala dari Allah lebih baik bagimu dari dirinya, aku berdo’a kepada Allah semoga Dia tidak menjadikanmu sedih dan tidak pula mendatangkan fitnah bagimu, dan Allah memberikan ganjaran karena musibah yang telah menimpamu, menganugrahkan kesabaran bagimu, tidak membuat susah dengan ujian, tidak mencabut nikmat yang telah diberikannya kepadamu, dan (ujian yang) sangat membutuhkan kesabaran adalah kesabaran atas sesuatu yang (diambil) dan tidak ada jalan untuk mengembalikannya.[20]
·         Ibnul Qoyyim rohimhullah menjelaskan bahwa tidak termasuk petunjuk Nabi melaksanakan sholat gaib bagi setiap mayit, beliau menguatkan pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah  yang merinci pendapatnya (dalam masalah ini) dengan mengatakan: Jika mayit tersebut telah dishalatkan pada tempat dia meninggal dunia, maka tidak dishalatkan kembali dengan shalat gaib, namun jika tidak maka dia harus dishalatkan dengan shalat gaib”.[21]
·         Bahwa Nabi Muhammad SAW jika dihadapkan dengan seorang yang meninggal dunia untuk meminpin shalat baginya maka beliau bertanya: Apakah dia mempunyai hutang atau tidak?, jika mayit tersebut tidak mempunyai hutang maka beliau shalat untuk mayit tersebut, namun jika mayit tersebut mempunyai hutang maka beliau tidak menshalatkannya dan mengizinkan para shahabatnya untuk menshalatkannya.
·         Ibnul Qoyyim juga menyebutkan perbedaan beberapa riwayat tentang berdiri atau duduknya Nabi untuk suatu jenazah saat jenazah tersebut lewat, dan perbedaan ulama dalam masalah ini. Dan beliau memilih pendapat yang mengatakan bahwa mengerjakannya adalah sunnah dan boleh meninggalkannya.[22]
·         Bersedaqah untuk mayit adalah perbuatan yang disyari’atkan, baik sedeqah tersebut berupa harta atau do’a berdasarkan sabda Nabi:

إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ انْقَطَـعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَـلاَثٍ: صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَـفَعُ بِهِ أَوْ َولَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
      “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akan kedua orang tua nya”.[23]
·         Disyari’atkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, serta berdo’a saat berziarah kubur dengan do’a yang sudah ada dari Rasulullah SAW:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
      (Kesejahteraan bagimu penghuni kubur dari orang-orang mu’minin dan muslimin, dan kami dengan kehendak Allah pasti menyusul kalian, saya mohon kepada Allah bagi kami dan kalian keselamatan”.[24]
Dan diperbolehkan mengangkat tangan untuk berdo’a dengan tidak menghadap kubur akan tetapi menghadap ka’bah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur baik bagi orang yang lewat atau orang yang masuk.
·         Tidak berjalan di antara kubur orang-orang muslimin dengan memakai sandal. Dari Uqbah bin Amir RA berkata: Rasulullah SAW bersabda:

ِلأَنْ أَمْشِيَ عَلىَ جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أوْ أخَصِْفَ نَعْليِ بِرِجْليِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَمْشِي عَلىَ قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَاليِ أَوَسْـطَ اْلقُـبُوْرِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْـطَ السُّـوْقِ
      “Dan aku berjalan di atas bara api, pedang atau   menjahit sandal saya dengan kaki saya lebih aku cintai daripada melewati kubur seorang muslim dan aku tidak menghiraukan apakah aku memenuhi kebutuhanku di tengah kubur atau di tengah pasar”.[25]


[1] QS. Al-Zumar: 42.
[2] QS. Al-Sajdah:11
[3] QS. Al-An’am: 61.
[4] Fathul Bari, Ibnu Hajar 3/112
[5] HR. Abu Dawud no: 2724.
[6] Zadul Ma’ad 1/145, 3/16-17, Tahzibus Sunan 4/308-309.
[7] Zadul Ma’ad 1/144, Bad’iul Fawa’id 4/98, Tahzibus Sunan 4/311, 4/315-316, 4/337
[8]Fatawa Lajnah Da’imah.
[9]Zadul Ma’ad 1/145-146, Tahzibus Sunan 4/335, 338
[10] Shahihul Jami’ no: 5441.
[11] HR. Bukhari no: 1283, Muslim no: 926.
[12] Ibid.
[13] Shahihut Targib no:3498.
[14] Shahihul Jami’no: 7311
[15] HR. Abu Dawud no: 2758.
[16] Shahihul Jami’ no: 1015.
[17] HR. Al-Nasa’I: 1762.
[18] Syarah riadhus Shalihin, syekh Shaleh Al-Utsaimin jilid 1/hal.154.
[19] Badaiul Fawaid 3/157
[20] Al-Kamil Fil Tarikh: 5/73
[21] Zadul Ma’ad 1/144-145.
[22] Tahzibus Sunan: 4/312-314, Zadul Ma’ad 1/145.
[23] Jika mayit tersebut berwasiat untuk disembelihkan maka disemblihkan baginya (sebagai shadaqah), namun jika dia tidak berwasiat demikian maka berdo’a baginya lebih utama. Al-Babul Maftuh, Ibnu  Utsaimin rahimhullah 52/50. Adapun Thawaf untuk salah seorang kelaurga yang meninggal, Syekh bin Bazz mengatakan: lebih utama meninggalkan perbautan tersebut karena tidak ada dalil yang menjelaskan perbuatan tersebut, namun sebagian ulama membolehkannya jika diqiyaskan dengan shadaqah dan do’a tetapi lebih baik meninggalkannya.
[24] HR. Muslim, Al-Kalimut Thayyib: 151.
[25] HR. Ibnu Majah no: 1567.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Muslim HeroesDAPATKAN APLIKASI STORY OF MUSLIMHEROES UNTUK HP NOKIA 5800 ANDA DISINI